Menurut seorang kolektor, Tarmizi A Hamid, manuskrip itu disimpan di beberapa tempat di kawasan Banda Aceh dan hanya 50-an saja yang disimpan di tempat yang layak. “Padahal, kalau dikelola dengan baik, itu bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Aceh,” ujarnya kepada Serambi, Selasa (26/2).
Tarmizi menyebutkan, pascatsunami sebanyak 118 manuskrip telah hilang. Sementara koleksi pribadinya sebagian besar tidak bisa dipamerkan karena ketiadaan bangunan dan safety box. Dijelaskannya, tempat penyimpanan tersebut harus memenuhi standar seperti anti api, dan suhunya terjaga. Kini 21 manuskrip miliknya tersebut telah digitalisasi. “Saya sekarang sedang membangun gedung pamer, targetnya rampung 2013. Nantinya pengelolaannya akan diserahkan ke rumoh manuskrip Aceh. Namun masih dibutuhkan safety box yang hingga kini belum ada,” ujarnya.
Dijelaskan Tarmizi, ia mengumpulkan ratusan manuskrip Aceh sejak 16 tahun lalu. Naskah kuno tersebut telah berumur 300 tahun dan sumbernya kebanyakan dari Kabupaten Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar. Saat ini benda koleksinya menjadi bahan rujukan bagi peneliti-peneliti dalam dan luar negeri.(Zainal Arifin M.Nur/Serambi Indonesia)
1 Komentar
Sayang sekali kalau hanya dijadikan pameran & tidak cetak ulang.
BalasHapus