![]() |
Tarmizi A.Hamid, membersihkan koleksi Manuskrip pribadinya (Foto : Agus Setiyadi/Detik.com) |
Selama 20 tahun menjadi kolektor manuskrip kuno, Tarmizi Abdul Hamid (47) atau akrab disapa Cek Midi, hanya mengandalkan gaji dari Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh dan Majelis Adat Aceh (MAA) maupun penghasilan sampingan. Ia bermimpi memiliki museum agar naskah kuno tersebut bisa dinikmati lebih banyak orang.
Manuskrip koleksi Cek Midi berusia 300 hingga 400 tahun. Kertas yang digunakan dipesan khusus oleh Sultan Iskandar Muda dari beberapa negara Eropa. Hal itu terlihat dari setiap lembaran naskah yang sudah memiliki watermark. Cap watermark akan terlihat jelas saat kertas diterawang pada sinar lampu atau matahari. Umumnya naskah kuno itu menggunakan watermark berupa burung, mahkota, dan bulan sabit tiga. (Baca: Kisah Cek Midi, Kolektor Ratusan Manuskrip Kuno dari Bumi Serambi Mekkah)
Sementara tinta, dibuat dari biji besi yang dipanaskan. Meski kini sudah berusia empat abad, tapi tulisan-tulisan di naskah tersebut tidak luntur. Hanya warna kertas saja yang mulai memudar.
Selama ini, Cek Midi menyimpan koleksinya di lemari rumahnya di kawasan Ie Masen Kayee Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh. Ia berencana membangun museum mini untuk menyimpan manuskrip-manuskrip agar terawat. Ia juga berniat membuat manuskrip koleksinya dalam bentuk digital. Tujuannya, agar dapat diakses oleh semua orang. Tapi lagi-lagi hal itu terkendala biaya.
Untuk merawat manuskrip, Cek Midi harus membersihkan minimal sebulan sekali agar naskah-naskah itu tidak berdebu. Ia kadang hanya menyapu saja lembaran-lembaran manuskrip agar tidak berdebu dengan menggunakan kuas ukuran besar dan kecil. Beberapa waktu lalu pernah datang utusan dari Jepang untuk merestorasi manuskrip kuno. Mereka mencuci manuskrip koleksi Cek Midi agar tidak berdebu. Uniknya, meski telah dicuci, tinta tulisan manuskrip ini tidak ada yang luntur.
"Baru 200 manuskrip yang sudah direstorasi oleh orang Jepang. Mereka datang ke sini dan membawa alat-alatnya," ungkap Cek Midi.
Usai direstorasi, manuskrip ini kembali disimpan di dalam lemari di sebuah ruang di rumahnya. Bukan hanya merestorasi naskah, perwakilan Jepang juga menyerahkan beberapa peralatan untuk merawat manuskrip seperti kuas dan alat untuk menjahit naskah.
Menurut Cek Midi, manuskrip paling diburu oleh Jerman, Malaysia dan Inggris adalah yang membahas tentang kerajaan dan tasawuf. Alasannya, tulisan yang membahas soal kerajaan ini merupakan identitas bangsa melayu. Bahkan saat perang Aceh melawan Belanda dulu, tentara penjajah berusaha menghilangkan semua manuskrip Aceh dengan cara dibakar.
"Tiga negara itu sangat ngotot untuk memperoleh naskah ini. Kalau kita biarkan ini jatuh di tangan mereka, di mana bukti Aceh pernah jaya dan identitas kita lainnya," ungkap Cek Midi.
Saat tsunami menerjang Aceh 26 Desember 2004 silam, sebanyak 115 manuskrip milik Cek Midi hilang dibawa air. Untungnya, beberapa naskah masih disimpan di rumah orangtuanya di Pidie. Beberapa bulan pascatsunami, Cek Midi mulai mengumpulkan lagi naskah-naskah kuno yang masih tersisa di beberapa tempat. Saat ini jumlahnya 482 manuskrip, di antaranya mushaf Al-quran, tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum Islam (fiqh), termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq, dan tajul muluk. (Baca: Cek Midi, Manuskrip Kuno, dan Alquran 400 Tahun yang Tintanya Tak Luntur) // Agus Setyadi Detik.com.
0 Komentar