“Tāj al-Salātin, Petuah Politik Indatu Untuk Pemimpin Aceh” (Oleh : Hamba yang hina dina)


Sejatinya pemimpin Aceh kedepan dapat merujuk dari kriteria yang terkandung dalam Naskah Kuno (Manuskript) Tāj al-Salātin (Tajus Salatin).

Tajus Salatin (Mahkota Raja-raja) merupakan sebuah kitab Aceh  produk cendekiawan muslim di  masa Kerajaan Aceh Darussalam yang sampai saat ini jadi incaran dunia yang memiliki sifat Negaranya Kerajaan (monarki).

Naskah yang kaya ilmu politik dan kepemimpinan ini, sangat populer baik pada zamannya maupun sekarang ini.  Naskah ini di karyakan oleh seorang ahli tata negara dan ahli firasat Bukhari al Jauhari yang selesai ditulis pada tahun 1012 Hijrah (1603 Masehi). Hasil dari guratan tinta Ulama sufi ini, Taj al-Salatin sudah mengharumkan nama Aceh ke sentero dunia disamping harumnya Bustan Al Salatin (Taman Raja-raja). Naskah yang sangat masyur ini telah memberikan konsep perpolitikan islam secara signifikan.

Kerajaan-kerajaan Melayu baik pada masanya maupun saat modrn ini telah menjadi suatu keharusan untuk menjadikan Tajus Salatin sebagai pedoman kepada penguasanya. Seakan ia menjadi persyaratan awal dalam memimpin dan mensejahterakan rakyat dan bangsanya.

Aceh sebagai daerah satu-satunya yang menerapkan Syariat Islam di Indonesia, sudah sepantasnya mengambil rujukan atau pedoman dari naskah yang langka ini, pemerintah mempunyai suatu kewajiban dalam mengangkat kembali karya sastra yang sangat agung ini sebagai pewaris dari empunya. Biarlah kalimat ke khususan dan ke istimewaan Aceh dapat dibuktikan secara aktualisasi melalui konsep pesan politik indatu Aceh dimasa silam sesuai cita-cita kita semua, guna mensingkronisasi semua aspek Syariat Islam dibumi aulia ini.

Naskah ini sebagai barometer bagi penguasa dalam mengurus pemerintahannya. Taj al- Saltin telah menyuguhkan pemikiran-pemikiran agama dan pemerintahan melalui pesan politik indatu Aceh masa lalu.

Dikutip dari kajian Filolog Aceh, Hermansyah (Kandidat Doktor Filologi University Hamburg Germany) bahwa karya sastra, kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, sosial-politik dan pemerintahan, baik bersifat teoritis dan praktis. Oleh karena itu, ia dikenal Mahkota Raja-raja.
Bukhari al-Jauhari nama pengarangnya, yang bisa diartikan “Bukhari di pandai emas”  atau “Bukhari dari Johor” dinisbat kepada salah satu daerah. Roorda van Eijisinga peniliti dari Negeri Belanda pada tahun 1827 Masehi, berhasil merumuskan kunci “rahasia’ yang digunakan oleh si pengarang.

Disimpulkan kitab ini tamat ditulis tahun 1012 H (1603 M), di Aceh, sebagai hadiah kepada Sultan Alauddin Ri`ayat Syah bergelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Kemudian seorang pakar sejarah dunia Filolog, Braginsky menegaskan bahwa Tajus Salatin merupakan karangan asli dari seorang cendekiawan Aceh yang berasal dari Bukhara dan tinggal lama di Aceh serta menjadi Ulama yang alim. Uraian tentang masalah-masalah yang terkandung didalamnya dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik dan sistematis, diambil dari berbagai sumber kitab dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya dalam konteks pada masa itu.
Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah-masalah politik dan pemerintahan. Seperti kita ketahui, Aceh pada masa tersebut sedang mengalami krisis internal, salah satunya sumber daya intelektual, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya. Sisi lain, era tersebut, Aceh sedang giat-giatnya berusaha meluaskan pencaplokan wilayah penguasaannya (Anexatie)  bersama proses Islamisasi, karena beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan.

Dalam kitabnya ini, Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memimpin sebuah negeri yang penduduknya beragam etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal, dan peranan seorang pemimpin yang adil dan benar.

Sedikitnya ada 5 pokok landasan sebagai acuan bagi seorang pimpinan atau syarat memilih pemimpin negeri dan daerahnya;
Pertama, Hifz; secara harfiah memelihara, menjaga dan menjaga amanah. Negara makmur jika dipimpin oleh orang yang menjaga amanah, memelihara kepercayaan rakyat, menunaikan kewajiban janjinya. Hifz; juga diartikan orang memiliki ingatan yang kuat, yaitu cerdas dan cakap, itu menjadi modal dasar membangun negeri ini.

Kedua, Fahm, artinya cepat tanggap dalam semua persoalan dalam negeri dan rakyatnya. Ia mengerti kebutuhan yang berbeda disetiap daerah dan wilayah, dan mampu mengakomodasinya.

Ketiga, Fikr; yaitu idealis, tajam pikiran dan luas wawasannya; seorang pemimpin tidak terbuai dan pengaruh dengan kekayaan dan fasilitas negara, namun ia mencurahkan segala upaya yang dimiliki untuk memikirkan rakyatnya. Saydina Umar r.a menjadi contoh baik seorang pemimpin yang melayani rakyatnya tanpa dibatasi jam kerja. Ide-ide brilian menjadi pendukung utama dalam membangun negeri,

Keempat, Iradat; yaitu visi misi, prospek dan target. Visi dan misi pemimpin lebih mengutamakan rakyat daripada pribadi dan kelompoknya, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat, kemampuannya menuntaskan kemiskinan. Visi misi yang dimiliki bukan hanya membangun infrakstruktur, namun mempersiapkan generasi mendatang dengan mencerdaskan bangsa dan membangun intelektual yang berbasis agama, sehingga tidak terkikis keimanannya oleh pengaruh luar, baik agama maupun adat budaya.

Dan kelima, Nur; cahaya atau penerang, yaitu sikap pemimpin yang bersih, jujur dan tidak korupsi. Cahaya (nur) sebagai simbol kegemilangan, kejayaan dan kesejahteraan yang mampu menerangi negeri dengan cinta atau kasih sayang, bukan dengan otoriter, apalagi radikalisme dan militerisme. Pemimpin tegas dan lugas, tapi tetap rasional dan tidak dipengaruhi hawa nafsu dan penyakit korupsi.

Konsep membangun karakter ini harus dimulai sejak dini, tidak akan berdiri kokoh satu negeri tanpa pondasi yang kuat. Kecerdasan, keimanan yang kuat, berakhlak mulia dan kejujuran tidak dapat dicetak dengan instan. Saat sifat dan syarat tersebut mampu dipenuhi oleh seorang pemimpin, tak diragukan kemakmuran akan dicapai. Maka lazim sudah pada abad ke-19, Singapura, Malaysia, Inggris dan Yogyakarta meneladani prinsip-prinsip di dalam naskah Tajus Salatin. Di Aceh, tak berlebihan jika disebut sultan Iskandar Muda pada abad ke-17, layaklah ia menjadi pemimpin yang diagungkan di Asia, bahkan dunia.
Saat usia muda, kecerdasan sultan telah tumbuh menjadi pemimpin, dipercayakan memimpin sendiri kerajaan Pedir (Pidie), sebagai pintu gerbang kesultanan Aceh dari arah Timur perairan laut Selat Malaka, seorang pemimpin muda dalam lintasan jalur perang dan pemerintahan (hifz). Saat memimpin kesultanan Aceh, ia mengerti kebutuhan kaum tuha, dengan spirit (semangat) jiwa anak muda dalam aspek duniawi, yaitu memadukan spiritual yang seimbang dengan kemajuan, perekonomian dan stabilitas politik (fahm). Kemudian, ia mampu membuka jalur bisnis dengan pihak-pihak asing, investasi besar-besaran atas kerjasama dengan negara Eropa, ide dan perhatiannya ia curahkan mengelola SDM dan SDA untuk mensejahterakan rakyat (fikr). Selain membangun infrastruktur, mesjid Baiturrahman salah satunya, keberhasilannya membangun jaringan intelektual dengan dunia Jazirah Arab, dan menjadi pusat intelektual keislaman (Islamic Center) di Asia (iradah). Dan, kejujurannya tak perlu diragukan lagi, ia begitu bijaksana menempatkan delegasinya di wilayah kerajaannya, termasuk menegakkan hukum sama antara rakyat, pejabat dan sahabat keluarganya, karna ia memandang semua sama di depan hukum (nur).

Kitab ini terdiri dari 24 bab. Keterkaitan sufistik dan kepemimpinan terlihat jelas menjadi satu kesatuan diantara bab. Empat bab pertama, mendidik manusia mengenal Tuhannya. Bab V sampai IX tamsil pemimpin yang adil dan yang zalim. Bab X-XIII membicarakan para menteri dan perwakilan rakyat. Bab XIV pendidikan anak. Bab XV-XVI sifat dan karakter leadership. Bab XVII tentang Ten Commandments (10 janji pokok) pemimpin, mengingatkan kita kepada peraturan naskah Adat Aceh. Bab XVIII-XIX memuat ilmu kiyāfa, hikmah dan ilmu firasat, yang kini total ditinggalkan di Aceh, setidaknya dalam dunia pendidikan. Bab XXI, 20 syarat non-muslin di negeri syariat Islam, konteks yang hangat dibicarakan di Aceh saat ini, dan negara-negara Islam.

Bab terakhir, wasiat pengarang kitab kepada 4 sektor penting (main sector) pemerintahan; yaitu, sultan, perwakilan rakyat  yang berakal dan beriman.
Melihat kuliatas karya Tajus Salatin, seharusnya menjadi bacaan wajib di pendidikan formal atau non-formal, untuk membangun karakter pemimpin yang jujur, idealis, cerdas dan berakhlak mulia. Tentu, lebih baik daripada disuguhkan cerita fiksi Hindu-Budha kepada anak-anak generasi sekarang ini, yang terkadang memiliki unsur panteisme dan monoteisme di dalamnya.
Pastinya, kerinduan rakyat kepada pemimpin (eksekutif dan legislatif) yang adil, berakhlak mulia, mementingkan kebijakan rakyat, dan bebas dari korupsi. Semua tidak terlepas dari kerinduan historis akan zaman kesultanan Iskandar Muda, hadir kembali ke Aceh. Setidaknya bukan dongeng seperti tuduhan Snouck Hurgronje, saat kita menceritakannya kepada anak cucu kita. Sehingga mengingatkan kita kepada salah satu syair “Buet ureng awai cit ka meutentee, geutanyoe mantong ta rika-rika”, dan ini bukan ilmu retorika untuk membangun Aceh dari sisa-sisa semangat yang belum luntur.

Konsep inilah yang ditumbuh kembangkan dan diaplikasikan di Aceh, tempat seorang penguasa dianggap memiliki otoritas politik dan agama. Semua konsep negara yang diaplikasikan pada saat itu sejalan dengan pemikiran tokoh ulama besar aceh Syekh Abdurrauf as Singkily dalam Kitabnya Mir'at at Thullab (cerminan bagi para qadhi Aceh)

Professor Amirul Hadi, dalam bukunya "Aceh, Sejarah, Budaya dan Tradisi (pustaka obor 2010) menguraikan konsekuensi otoritas agama seorang penguasa, disamping politik, menjadi sebuah keniscayaan, namun dalam tulisannya perlu ditekankan bahwa kepemilikan penguasa akan otoritas agama, dimaknakan sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam agama adalah Ulama.
Nah dalam perspektif ini sebagai seorang pemimpin sangat membutuhkan Ulama, dalam Taj al-Salatin ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk menghormati dan merujuk kepada Ulama dalam urusan ke Agamaan.

Semoga sumber sejarah literatur karya sastra Aceh yang telah ditulis bacakan oleh pendahulu sufi Aceh masa silam, dapat kiranya kita rekontruksikan dalam aspek kepemimpinan Aceh dimasa kini dan mendatang.
Petuah Politik Indatu Aceh didalam Manuskrip Taj al-Salatin patut kiranya kita ingat sebuah pepatah Aceh untuk pemimpin yang jujur, amanah dan berakhlak mulia. Kiban nyang patot meunan ta pubut, bek na meu bacut nyang meuputa.

Wassalam,..












Posting Komentar

0 Komentar